|
Ketua PSJK UCB Kupang, Andre Koreh. |
Oleh : Dr. Ir. Andre W. Koreh, MT, IPM, Asean Eng. (Ketua Pusat Study Jasa Konstruksi) UCB Kupang.
XDetiik.com - Pemberitaan media tentang tindak pidana korupsi dalam beberapa pekerjaan konstruksi seperti : IKH ( Instalasi Karantina Hewan ) Maropokot di Nagakeo ; Puskesmas Paga di Sikka , Puskesmas Maradesa di Sumba Tengah ; Turab Aegela di Sikka , Jalan Lerahunga- Banitobo di Kabupaten di Lembata , dan masih banyak lagi, mendorong penulis berpendapat sebagai bahan permenungan bersama.
Untuk perkara diatas, tentunya APH ( Aparat Penegak Hukum ) telah “menemukan minimal dua alat bukti permulaan yang cukup dan sah ”sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana : yakni : keterangan saksi ; keterangan ahli, surat; petunjuk ; keterangan terdakwa, sebagai dasar untuk menetapkan oknum yang paling bertanggung jawab sebagai tersangka. Dan untuk kemudahan tindakan hukum selanjutnya, para tersangka harus ditahan.
Sebagai pengamat dan pelaku jasa konstruksi, penulis mencoba menduga, dua alat bukti permulaan yang cukup dalam pekerjaan konstruksi itu seperti apa ? Perbuatan melawan hukumnya bagaimana, dan yang terutama, aturan hukum apa yang telah dilanggar oleh para tersangka?
Dan untuk diketahui , yang termasuk pekerjaan jasa konstruksi menurut UU No 2 /2017 tentang Jasa Konstruksi dan PP 16/2028 Tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah antara lain pekerjaan : jalan , jembatan, perumahan , gedung, embung , bendung , bendungan, irigasi, dll.
Menurut pemberitaan media, penyidik yakin telah terjadi kerugian keuangan negara ratusan juta hingga milyaran rupiah, karena terjadi kerusakan dan keruntuhan bangunan berdasarkan perhitungan ahli teknik jasa konstruksi dari sebuah lembaga pendidikan.
Kemudian ada pula keterangan ahli pengadaan barang dan jasa serta laporan hasil pemeriksaan ( LHP ), bisa dari : BPK, BPKP dan Inspektorat.
Dari pemberitaan itu, penulis menduga , dua alat bukti permulaan versi penyidik antara lain : pertama, adanya kondisi kerusakan bangunan, yang didukung oleh keterangan ahli konstruksi, sebagai sebuah pelanggaran hukum, dan kedua, adanya perhitungan potensi kerugian keuangan negara dari auditor : BPK, BPKP, Inspektorat, bisa juga konsultan akuntan publik (KAP) sebagai bukti surat.
Dengan dua alat bukti permulaan ini, penyidik menetapkan para Penyedia Jasa (Kontraktor) dan Pengguna Jasa (PPK) sebagai tersangka karena merekalah oknum yang diduga paling bertanggung jawab atas Perbuatan Melawan Hukum yang terjadi.
Jika dugaan penulis benar , dimana keterangan ahli konstruksi dan keterangan auditor dijadikan alat bukti permulaan untuk menjerat para pelaku, penulis berpendapat bahwa tindak pidana korupsi dalam pekerjaan konstruksi dengan alat bukti seperti itu , adalah dugaan tipikor yang bias, prematur, sumir dan cacat logika.
Dikatakan BIAS; karena pekerjaan konstruksi harus mentaati kaidah hukum jasa konstruksi sebagaimana yang tertera dalam UU No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sebagai Lex specialis. Jika penyidik menilai telah terjadi perbuatan melawan hukum, maka pertanyaannya hukum apa yang dilanggar oleh Penyedia dan Pengguna Jasa? Bisakah kegiatan konstruksi yang awalnya berpatokan pada UU Jakon, dengan perjanjian kerja yang bersifat Perdata “melompat” sebagai pelanggaran UU Tipikor dan menjadi perbuatan pidana ? Bukankah penyidik menggunakan istilah Pengguna dan Penyedia Jasa saat melakukan penyidikan maupun dakwaan (nantinya) dll, padahal istilah “Pengguna dan Penyedia Jasa” hanya termuat dalam UU No. 2 Thn 2027 tentang Jasa Konstruksi?
Artinya Penyidik “tanpa sadar” telah menggunakan UU Jakon untuk menilai perbuatan melawan hukum para pelaku, namun ironisnya dalam dugaan dan dakwaannya penyidik mengabaikan keberadaan UU Jasa Konstruksi.
Kalaupun penyidik menggunakan istilah lain, misalnya istilah para pihak dll, landasan pijak penyidik dalam mengurai kasus ini telah bias sejak awal perkara , karena sebagai pelaku jasa konstruksi, siapapun wajib menggunakan UU Jakon sebagai pedoman pengelolaan dan pengendalian pekerjaan.
Mestinya penyidik menemukan terlebih dulu pelanggaran apa yang dilakukan Penyedia dan Pengguna Jasa terhadap UU Jakon?
Sementara itu, karena Perjanjian Kerja (Kontrak) antara para Pihak adalah perjanjian yang bersifat perdata , maka sesuai Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1)yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya Perbuatan Melawan Hukumnya dalam Kontrak Kerja Konstruksi, mesti berkaitan dengan keperdataan, dan bukan atau belum bisa serta merta dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi , karena dalam UU No.
2/2017 Tentang Jakon; tidak ada satupun pasal tentang sanksi pidana bagi para pelanggar UU ini.
Hal lainnya adalah, salah satu asas dalam UU Jakon adalah asas manfaat, selain asas keadilan dan kejujuran dan beberapa asas lainnya. Artinya semua pekerjaan konstruksi wajib bermanfaat bagi masyarakat, berkeadilan bagi para pihak dan jujur dalam membangun jasa konstruksi.
Dugaan tipikor macam ini juga dinilai PREMATUR ; karena penyidik berkesimpulan, bahwa keruntuhan dan kerusakan yang terjadi adalah indikasi awal perbuatan pidana korupsi.
Menurut penulis, ini adalah dugaan yang terburu buru alias prematur, walaupun sudah ada keterangan ahli.
Karena mengacu UU Jakon , kerusakan bangunan bisa terjadi karena berbagai kondisi dan faktor , dan kondisi itu harus dinilai dan dikaji melalui “forensic engeneering” oleh Penilai Ahli , antara lain : apa sebab terjadi kerusakan, kerusakan terjadi pada periode kapan? Adakah niat jahat (mensrea) pelaku jakon untuk merugikan keuangan negara? Apakah kerusakan terjadi dalam masa kontrak konstruksi , atau setelah kontrak berakhir?
Jika kerusakan terjadi pada masa sebelum kontrak berakhir (FHO), maka kondisi kerusakan itu belum bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, walau ada keterangan ahli sekalipun. Karena segala kondisi kerusakan konstruksi pada masa konstruksi, masih menjadi tanggung jawab penyedia ,dan harus diselesaikan sesuai perjanjian kontrak, artinya jika kwalitas pekerjaan buruk, wajib diperbaiki , jika volume pekerjaan tidak sesuai RAB, harus disesuaikan dan jika pekerjaan selesai tidak tepat waktu, maka penyedia dikenakan denda keterlambatan, bahkan bisa saja terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada penyedia dan segala konsekwensinya ditanggung penyedia.
Artinya jika semua langkah pengelolaan dan pengendalian proyek diterapkan sesuai mekanisme manajemen proyek yang benar, maka unsur merugikan keuangan negara tidak terjadi. Termasuk jika Penyedia harus menyetor kembali potensi kerugian keuangan negara hasil audit jika ada potensi kerugian negara yang harus dikembalikan.
Dan lebih dari itu, jika bangunan yang dihasilkan telah memenuhi asas manfaat bagi masyarakat sebagai salah satu asas yang harus dipenuhi dalam amanat UU Jakon , maka delik kerugian negara sebagaimana yang didalilkan menjadi tidak terjadi.
Demikian pula jika kerusakan terjadi setelah kontrak berakhir atau setelah serah terima kedua (FHO/ Final Hand Over ), penyedia jasa masih bertanggung jawab selama 10 tahun setelah FHO, artinya penyedia masih bertanggung jawab selama durasi waktu itu. Dan jika terjadi kerusakan pada masa itu, kerusakan bisa dikategorikan sebagai kegagalan bangunan, setelah terlebih dahulu dinilai oleh Penilai Ahli yang ditugaskan oleh Menteri PUPR melalui LPJK.
Sanksinya pun tergantung hasil penilaian Penilai Ahli. Tentunya sanksi yang dijatuhkan juga bersifat perdata yakni ganti rugi atau ganti bangunan.
Dengan demikian kerusakan dan keruntuhan bangunan tidak serta merta dinilai sebagai tindak pidana korupsi karena ada beberapa tahapan proses dan kondisi untuk sampai pada kondisi merugikan keuangan negara.
Demikian pula delik yang diajukan penyidik dapat dikatakan SUMIR ; karena sejatinya perjanjian kerja antara Pengguna dan Penyedia jasa konstruksi adalah perjanjian perdata, namun tanpa alur penyidikan yang benar, penyidik terburu buru berkesimpulan dan tanpa landasan hukum yang tepat sesuai aturan jasa konstruksi, telah berketetapan bahwa kerusakan yang terjadi adalah tindak pidana korupsi.
Maka timbul pertanyaan; bagaimana perjanjian awal yang sifatnya perdata bisa berubah menjadi pidana korupsi, tanpa ada suatu kondisi antara yang sahih dan faktual sebagai bukti awal tindak pidana? Kemudian dalil apa yang dipakai sehingga serta merta meyakini kerusakan konstruksi yang terjadi adalah perbuatan yang dikategorikan sebagai Tipikor?
Dalam hal ini terjadi framing yang keliru dan merugikan pelaku jasa konstruksi tentang kerusakan pekerjaan. Apalagi narasi yang dibangun menggunakan logika hukum yang tidak runut, “melompat” begitu saja dari perjanjian perdata menjadi tindak pidana korupsi. Sehingga terjadi CACAT LOGIKA , karena tidak bisa hanya dengan keterangan ahli konstruksi dan auditor, penyidik berkesimpulan telah terjadi Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan keuangan negara dalam pekerjaan konstruksi dan mengabaikan keberadaan UU jasa Konstruksi.
Jika demikian, maka akan timbul pertanyaan, bisakah pekerjaan jasa konstruksi menjadi tindak pidana korupsi? Dan bila mana itu terjadi?
Jawabannya bisa, dengan catatan harus dibuktikan adanya niat jahat ( mensrea ) untuk merugikan keuangan negara misalnya : adakah “mark up” harga satuan dasar? Atau dengan sengaja mengurangi dimensi dan volume pekerjaan, menurunkan kwalitas pekerjaan, adanya gratifikasi dan suap, denda keterlambatan yang tidak mau dibayar, kerusakan terjadi namun penyedia tidak mau memperbaikinya , serta adanya Operasi Tangkap Tangan ( OTT) dll.
Jika itu terjadi, maka dalil yang dibangun oleh penyidik dalam Tipikor pekerjaan jasa konstruksi mestinya pada perbuatan seperti tersebut diatas, bukan pada kerusakan bangunan sebagai kondisi saat pemeriksaan , apalagi kerusakan terjadi pada masa kontraktual , artinya masih menjadi tanggung jawab penyedia jasa untuk memperbaiki kerusakan.
Dengan demikian, kerusakan dan keruntuhan bangunan tidak bisa serta merta dikatagorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan keuangan negara, karena penyebab kerusakan di pekerjaan konstruksi ada beberapa kemungkinan antara lain : kesalahan perencanaan, kesalahan pelaksana, kelemahan pengawasan yang kesemuanya dalam istilah jasa konstruksi, terjadinya mal praktek jasa konstruksi.
Dan kerusakan bangunan dapat pula terjadi karena adanya kondisi force major (keadaan kahar: bencana alam misalnya).
Mengacu pada Peraturan Menteri PUPR Nomor 8 Tahun 2021 Tahun 2021 Tentang Penilai Ahli,Kegagalan Bangunan, Dan Penilaian Kegagalan Bangunan sebagai turunan UU No. 2 / 2017 tentang jasa konstruksi, semua kondisi kerusakan yang terjadi perlu dilakukan “ forensic engeneering “ yang dilakukan / diteliti oleh Penilai Ahli (Bukan Ahli), yang ditugaskan oleh Menteri PUPR melalui LPJK.
Dengan demikian, kesimpulan penyidik telah terjadi kerugian keuangan negara karena ada perbuatan melawan hukum dan menjadi Tipikor, selain bias landasan hukumnya, prematur kesimpulannya, sumir acuannya, juga terjadi cacat logika dalam penegakan hukumnya.
Akibat dari hal diatas, patut diduga lanjutan perkara seperti disebutkan diatas, berpotensi menjadi peradilan yang sesat, karena keadilan yang menjadi hak semua warga negara berubah menjadi kriminalisasi karena telah ada framing , bahwa kerusakan bangunan negara adalah tindak pidana korupsi.
Demikian pula jika terjadi kerusakan bangunan konstruksi , maka solusinya adalah dengan memperbaikinya , atau mengganti dengan bangunan yang baru , sehingga bermanfaat buat masyarakat. Bukan dengan memenjarakan para pihak dan persoalan dianggap selesai.
Sementara bangunan yang diperkarakan sudah dihentikan kelanjutan pekerjaannya karena Pengguna dan Penyedia sudah ditahan, seperti Bangunan NTT Fair di Kota Kupang , sedangkan Monumen Panca Sila , Stadion GOR Mini di Kota Kupang mangkrak begitu saja tanpa kelanjutannya tanpa pula adanya upaya hukum yang dilakukan.
Ketiga bangunan ini bertahun tahun mangkrak dan terpampang jelas depan mata
kita.Tiap hari kita melihatnya tanpa ada pihak yang berupaya memberi solusi agar bermanfaat buat masyarakat.
Masyarakat hanya pasrah tanpa daya melihatnya , padahal sudah ada uang negara yang dikeluarkan . Dan dipastikan kerugian negara yang terjadi sangat besar.
Pertanyaannya , bangunan yang mangkrak ini , dengan kerugian negara lebih besar , siapa yang paling bertanggung jawab ? Penyidik ?, Pengguna Anggaran? , Ahli atau Auditor ? Bisakah rumput yang bergoyang menjawab ?
Mari kita renungkan!
Penulis : Dr. Ir. Andre W. Koreh, MT, IPM, Asean Eng. Sebagai :
- Dekan Fakultas Teknik UCB Kupang
- Ketua Pusat Study Jasa Konstruksi( PSJK - UCB) Kupang
- Ketua Persatuan Insinyur Indonesia ( PII ). Wil NTT.